Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Minggu, 13 September 2015

[CERPEN] Jika Bisa Bertukar...


Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘The Dead Returns’



Jika bisa bertukar tubuh, ingin bertukar ke tubuh siapa?
Sebelah alisku terangkat kala membaca pertanyaan dari angket yang tergeletak di sebelah mesin tik. Menarik. Apakah ini sejenis tes kejiwaan? Ah… Apa yang harus kutulis di kolom jawaban ya? Nama artis? Pemuka politik? Binatang atau benda mati?
Kusambar bolpoin yang diberikan Pak Ardi, si kumis tebal yang sedari tadi memandangiku lekat-lekat di seberang meja. Ck, biarpun orientasi seksualku menyimpang, aku juga pemilih. Tidak mungkin aku tertarik memiliki kekasih ikan buntal sepertinya.
“Tunggu apalagi? Ayo, isi angketnya.”
Lantunan lembut itu sudah tentu bukan milik Pak Ardi, melainkan Bu Irene. Perlukah kudeskripsikan betapa cantiknya ia? Oke, aku memang tidak suka lawan jenis, tapi kuakui, Irene Pratiwi adalah wanita paling sempurna yang pernah kulihat. Tinggi, berpenampilan rapi dan memiliki tutur kata sehalus sutera. Jangan lupa, kacamata minus yang menduduki hidung bangirnya memberi kesan cerdas, sesuai dengan titel S.Psi yang tercantum di name tag.
Oh, satu lagi. Bu Irene juga tidak suka main tangan seperti Pak Ardi dan kawan-kawannya yang kasar. Ugh! Ingatkan aku untuk meninggalkan “kenang-kenangan” pada mereka sepulangnya dari sini! Mereka betul-betul menyebalkan!
Kembali ke angket, aku belum memiliki jawaban. Walaupun sering diolok-olok semasa sekolah dulu—yeah, apa lagi penyebabnya kalau bukan ketertarikanku pada sejumlah pria seksi di majalah dewasa—aku cukup puas dengan takdir. Aku hidup berkecukupan, wajah di atas rata-rata, kuliah di fakultas bergengsi dan… Aha!
Aku ingin bertukar tubuh dengan wanita penghibur.
“Kenapa harus dengan…” Bu Irene mengulum bibir, agak ragu untuk mengeja tulisanku secara blak-blakan. “Bukankah Dimas punya tunangan? Siapa namanya?”
Cantika, lengkapnya Cantika Rahmania.
Mana mungkin aku bisa lupa?
“Aldo, kamu suka Dimas ‘kan? Kenapa kamu malah ingin jadi wanita penghibur? Bukankah kamu terobsesi untuk menggantikan posisi tunangannya?” tanya Bu Irene lagi, dengan tatapan memohon. Ayolah, kenapa wanita ini harus mengemis jawaban seperti itu?
Ke mana logikanya?
“Aku tidak mau disamakan dengan orang yang sudah mati!” sahutku sebal. Bolpoin pemberian si kumis lintah kini melayang, nyaris pecah lantaran terbentur lantai. “Saat aku sehat dan good looking saja Dimas tidak ingin menerimaku, bagaimana kalau dengan wajah lebam, kaki patah dan usus terburai seperti Cantika? APA DIMAS MASIH INGIN MENGENALKU, HAH?!”
Pak Ardi dan dua orang temannya sudah akan mengepungku ketika Bu Irene berujar, “Oke, alasanmu cukup masuk akal, tapi pertanyaanku belum terjawab.”
“Anda tidak sepintar kelihatannya, Bu Irene.” Sembari mengatur napas, bokongku kembali jatuh di kursi. “Setelah Cantika mati, Dimas sering membawa wanita-wanita asing ke rumahnya. Cantika dilupakan, dan aku tidak mau mengalami hal yang sama.”
Oh, rasanya sakit bila aku harus mengingatnya lagi.
“Aku ingin menjadi salah satu di antara wanita penghibur itu. Dijadikan sebagai pengganti Cantika, dicintai Dimas meski hanya semalam, dan yang terpenting…” Jeda yang kuberikan tidak mengurangi kuriositas Bu Irene. “Aku tidak perlu dicurigai setelah hadir di pemakaman Dimas, hanya karena sering terlihat di lingkungan rumahnya.”
“Jika bukan kamu, lalu siapa?”
“Sudah kubilang, aku tidak membunuhnya…” Mimik frustasi dan nada bicara memelas yang biasanya hanya kugunakan saat berhadapan dengan Dimas, sekarang harus dipertontonkan pada Bu Irene. “Sewaktu aku berhasil menemui Dimas saja, dia menolakku mentah-mentah, lalu mengatakan lebih baik menyusul Cantika ketimbang menjalin hubungan denganku…”
Bu Irene lantas melempar pandangan pada Pak Ardi dan dua lelaki berseragam cokelat lainnya di ruangan ini, tanpa peduli kalau ceritaku belum usai, “Kalian dengar? Dia sangat terpukul! Aldo memang terbukti bersalah dalam penganiayaan Cantika Rahmania, tapi dia tidak terlibat dalam kasus in―"
“…jadi aku mewujudkannya, lewat wanita terakhir yang ia pesan.”

Sabtu, 22 Agustus 2015

[FICLET] YOUR MANAGER AND I


Your Manager and I
.
© 2015 by Nisa Jung
.
Bangtan Boys - J-Hope & Shannon Williams | Angst | 675 words | M
.
Proteksi dan kekangan mereka tak berlaku untukku.
Jika memaksa, bayarlah dengan nyawa.
.




Aku menyukaimu.

Buku catatan yang dipegang Shannon kini bergetar, seiring dengan tangannya yang juga refleks terguncang hebat. Baru halaman pertama saja sudah segamblang ini, bagaimana kelanjutannya?

Kau tidak pernah berubah, Sayang. Walau menggunakan kemeja flannel dan ripped jeans―menanggalkan flare skirt kesukaanmu―saat pemotretan pagi tadi, kau tetap terlihat anggun. Oh ya, bagaimana keadaan kakimu setelah itu? Sneakers yang kau pakai kekecilan 'kan?

Shannon merasakan bulu kuduknya meremang, namun tetap berusaha membaca lembar selanjutnya.

Ah, aku juga sangat suka gaun panjang yang akan kau kenakan di drama musikal nanti. Kenapa harus menunggu minggu depan jika gaun itu sudah tersimpan di lemari bajumu? Kurasa, kecantikanmu bertambah berkali-kali lipat ketika mencobanya di butik kemarin. Sungguh... Aku ingin melihatmu mengenakannya sekali lagi. 

Lagi, gadis itu hampir menjerit ketakutan. Ini memang bukan kali pertama privasi seorang Shannon Williams terusik, tetapi...

Kurangi kebiasaanmu tidur terlalu larut, Sayang. Tidak baik untuk kesehatanmu. Bukankah selama seminggu ini jadwalmu begitu padat? Karena tidak ingin kau kelelahan, aku sengaja mematikan alarm ponselmu pagi tadi. Syuting iklan minuman isotonik itu baru akan dimulai siang hari 'kan? Kenapa kau malah menyetel alarm terlalu awal?

Lutut Shannon melemas, namun logika memaksanya untuk tetap tenang.

Omong-omong, bagaimana rasa panekuk buatanku? Aku senang kau menikmatinya dengan baik. Kuakui, meniru tulisan tangan manajer Min lumayan sulit. Benar-benar ide bagus menyertakan tulisannya di setiap makanan yang akan kau konsumsi. Aku saja sampai harus mengulangnya pada tiga kertas berbeda.

Wajah Shannon tak ubahnya seperti salju. Pucat, seolah darahnya tidak lagi mengalir. Otak gadis bersurai emas itu kini fokus mencari informasi lampau, tentang kapan terakhir kali ia menyantap panekuk saat sarapan.

Aku senang kau memiliki manajer tangguh seperti Min Yoon Gi. Kewaspadaannya membuatku merasa tertantang. Dibanding Kim Nam Joon yang terlalu lemah, dia yang terbaik. Sianida yang kucampurkan pada minuman Nam Joon tempo hari cuma sesendok makan, tapi si Kim bodoh itu langsung tersungkur dan mati, ingatkah?

Tiga hari yang lalu. Shannon bahkan masih bisa mengingat rasanya yang amat lezat, tapi saat ini hal itu justru membuatnya mual.

Oh, aku jadi teringat dengan Seok Jin-hyung, manajer pertamamu. Begini-begini, aku sering mengunjungi makamnya―yah, meski tidak bisa serutin dirimu. Seperti bernostalgia rasanya. Semenarik apa pun pribadi Min Yoon Gi, Seok Jin-hyung takkan pernah terganti. Dia benar-benar mengurusmu dengan baik. Maksudku, kapan lagi kau bisa mendapat menu masakan rumahan, fasilitas antar-jemput, saran dalam berpenampilan, berikut perlindungan 24 jam? Bayangkan berapa biaya yang mampu kau hemat dengan menyewa Seok Jin-hyung, yang presensinya setara dengan supir pribadi, koki, fashion-stylish dan bodyguard dalam satu tubuh? Andai saja dulu Seok Jin-hyung mengizinkanku untuk memotretmu saat tidur, kisahnya tentu tak perlu berakhir tragis…

Shannon harus segera keluar dari apartemen ini!

Kembali ke masalah Min Yoon Gi. Kudengar, sejak dini hari dia pergi ke kantor polisi untuk membahas tahanan yang melarikan diri. Huh, tapi apa peduliku? Yang terpenting, seharian ini dia takkan menghalangiku untuk bertemu denganmu. Kita benar-benar telah terhubung benang merah, uh?

Gadis itu sama sekali tak membawa apa pun selain dompet dan ponselnya. Persetan! Yang Shannon pikirkan saat ini hanyalah keselamatan dua orang...

Air mandimu sudah kuhangatkan, handukmu pun telah kusiapkan. Hei, katakan padaku, bagaimana bisa Manajer Min membelikanmu bath bomb beraroma citrus? Bukankah kau setengah mati membenci buah asam itu? Betul-betul tidak becus. Bolehkah aku menghukumnya?

Dirinya, juga sang manajer.
"MIN! MANAJER MIN!" Shannon memekik sekeras mungkin tatkala panggilannya terhubung dengan kontak incaran. "KITA HARUS PINDAH DARI APARTEMEN INI, SEKARANG JUGA!"
Terdengar suara kekehan asing di seberang sana, berbonus bisikan mesra, "Sayang, jangan berteriak sekeras itu. Manajer Min baru saja tertidur di sampingku."
Shannon beku di tempat. Ekspektasinya untuk memasuki pelataran parkir dan kabur bersama Min Yoon Gi kini musnah sudah. Berganti dengan sejuta kemungkinan buruk yang akan terjadi pada menit-menit selanjutnya.
"Aku harus memastikan darahnya tidak mengotori jok mobil, supaya rok biru langit kesayanganmu tak dipenuhi bercak merah." Suara serak yang sama kembali menggema. "Setelah itu, barulah kita bisa mencari apartemen baru untukmu, Sayang."
Tidak... Mana mungkin Shannon bisa percaya begitu saja pada seseorang yang menyerobot percakapannya dengan Min Yoon Gi?
"Bisakah kau menunggu sebentar lagi?"
Bukankah semestinya maniak bernama Jung Ho Seok itu sudah dieksekusi mati seminggu yang lalu?

.
.
.
fin.

a/n: Inspired by J-Hope's freakin' smile.

[+/-]

[CERPEN] Jika Bisa Bertukar...

[+/-]

[FICLET] YOUR MANAGER AND I