Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘The Dead Returns’
Jika bisa bertukar tubuh, ingin bertukar ke tubuh siapa?
Sebelah
alisku terangkat kala membaca pertanyaan dari angket yang tergeletak di sebelah
mesin tik. Menarik. Apakah ini sejenis tes kejiwaan? Ah… Apa yang harus kutulis
di kolom jawaban ya? Nama artis? Pemuka politik? Binatang atau benda mati?
Kusambar
bolpoin yang diberikan Pak Ardi, si kumis tebal yang sedari tadi memandangiku
lekat-lekat di seberang meja. Ck, biarpun orientasi seksualku menyimpang, aku
juga pemilih. Tidak mungkin aku tertarik memiliki kekasih ikan buntal sepertinya.
“Tunggu
apalagi? Ayo, isi angketnya.”
Lantunan
lembut itu sudah tentu bukan milik Pak Ardi, melainkan Bu Irene. Perlukah kudeskripsikan
betapa cantiknya ia? Oke, aku memang tidak suka lawan jenis, tapi kuakui, Irene
Pratiwi adalah wanita paling sempurna yang pernah kulihat. Tinggi, berpenampilan
rapi dan memiliki tutur kata sehalus sutera. Jangan lupa, kacamata minus yang
menduduki hidung bangirnya memberi kesan cerdas, sesuai dengan titel S.Psi yang tercantum di name tag.
Oh,
satu lagi. Bu Irene juga tidak suka main tangan seperti Pak Ardi dan
kawan-kawannya yang kasar. Ugh! Ingatkan aku untuk meninggalkan “kenang-kenangan”
pada mereka sepulangnya dari sini! Mereka betul-betul menyebalkan!
Kembali
ke angket, aku belum memiliki jawaban. Walaupun sering diolok-olok semasa
sekolah dulu—yeah, apa lagi penyebabnya kalau bukan ketertarikanku pada sejumlah
pria seksi di majalah dewasa—aku cukup puas dengan takdir. Aku hidup
berkecukupan, wajah di atas rata-rata, kuliah di fakultas bergengsi dan… Aha!
Aku ingin bertukar tubuh dengan wanita penghibur.
“Kenapa
harus dengan…” Bu Irene mengulum bibir, agak ragu untuk mengeja tulisanku
secara blak-blakan. “Bukankah Dimas punya tunangan? Siapa namanya?”
Cantika,
lengkapnya Cantika Rahmania.
Mana
mungkin aku bisa lupa?
“Aldo,
kamu suka Dimas ‘kan? Kenapa kamu malah ingin jadi wanita penghibur? Bukankah
kamu terobsesi untuk menggantikan posisi tunangannya?” tanya Bu Irene lagi,
dengan tatapan memohon. Ayolah, kenapa wanita ini harus mengemis jawaban
seperti itu?
Ke
mana logikanya?
“Aku
tidak mau disamakan dengan orang yang sudah mati!” sahutku sebal. Bolpoin
pemberian si kumis lintah kini melayang, nyaris pecah lantaran terbentur lantai.
“Saat aku sehat dan good looking saja
Dimas tidak ingin menerimaku, bagaimana kalau dengan wajah lebam, kaki patah dan
usus terburai seperti Cantika? APA DIMAS MASIH INGIN MENGENALKU, HAH?!”
Pak
Ardi dan dua orang temannya sudah akan mengepungku ketika Bu Irene berujar, “Oke,
alasanmu cukup masuk akal, tapi pertanyaanku belum terjawab.”
“Anda
tidak sepintar kelihatannya, Bu Irene.” Sembari mengatur napas, bokongku
kembali jatuh di kursi. “Setelah Cantika mati, Dimas sering membawa wanita-wanita
asing ke rumahnya. Cantika dilupakan, dan aku tidak mau mengalami hal yang sama.”
Oh,
rasanya sakit bila aku harus mengingatnya lagi.
“Aku
ingin menjadi salah satu di antara wanita penghibur itu. Dijadikan sebagai
pengganti Cantika, dicintai Dimas meski hanya semalam, dan yang terpenting…” Jeda
yang kuberikan tidak mengurangi kuriositas Bu Irene. “Aku tidak perlu dicurigai
setelah hadir di pemakaman Dimas, hanya karena sering terlihat di lingkungan
rumahnya.”
“Jika
bukan kamu, lalu siapa?”
“Sudah
kubilang, aku tidak membunuhnya…” Mimik frustasi dan nada bicara memelas yang biasanya
hanya kugunakan saat berhadapan dengan Dimas, sekarang harus dipertontonkan
pada Bu Irene. “Sewaktu aku berhasil menemui Dimas saja, dia menolakku
mentah-mentah, lalu mengatakan lebih baik menyusul Cantika ketimbang menjalin hubungan
denganku…”
Bu
Irene lantas melempar pandangan pada Pak Ardi dan dua lelaki berseragam
cokelat lainnya di ruangan ini, tanpa peduli kalau ceritaku belum usai, “Kalian
dengar? Dia sangat terpukul! Aldo memang terbukti bersalah dalam penganiayaan Cantika Rahmania, tapi dia tidak terlibat dalam kasus in―"
“…jadi aku mewujudkannya, lewat wanita terakhir yang ia pesan.”