Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Senin, 17 Agustus 2015

[VIGNETTE] CAFFEINE




C a f f e i n e
.
© 2015 by Nisa Jung
.
VIXX - N & GIRL'S DAY – Yura | Hurt/Comfort | 1028 words | T
.
“Kamu yang membuatku melupakan kafein, kamu juga yang memaksaku menenggaknya lebih banyak…”
.



“Agasshi[1], ini sudah gelas kelima, uh? Apa perutmu baik-baik saja?”
Kelopak mataku yang sayu kini membelalak. Menghujani pemuda bercelemek merah marun itu dengan tatapan gusar. Ugh, apa-apaan dia ini? Tampan, tapi suka ikut campur urusan orang. Menyebalkan.
“Jangan banyak bicara. Semua minuman ini ‘kan kubayar tunai, tidak berhutang!” bentakku kasar. Pemuda itu masih terpaku di hadapanku, tak mencatat apapun di buku pesanan yang dibawanya.
“Bagaimana jika kau pesan makanan saja? Cheese cake buatan kami adalah yang terlezat di Seoul!” Senyum lebarnya tercetak lagi. Huh, sok charming!
“Tidak mau! Sudah kubilang, aku ingin espresso!” Gebrakan meja nyaris membuat cangkir-cangkir di depanku jatuh berserak. Dia tersentak. Pandanganku pun menusuknya lagi. “Sekali lagi kau protes, akan kulaporkan pada manager café ini!”
Seolah tak acuh, pemuda itu malah menarik kursi dan duduk di sebelahku, “Sayangnya, Won Shik-ie[2] sedang cuti hari ini. Kau takkan bisa menemuinya.”
Apa? Apa yang dia katakan barusan? Won Shik-ie? Kurang ajar! Bisa-bisanya temanku itu merekrut orang yang tidak tahu sopan santun seperti ini untuk dijadikan waiter. Pokoknya, cepat atau lambat aku harus melapor, supaya waiter kurang ajar sepertinya bisa segera ditendang keluar dari café ini!
“Namaku Hak Yeon. Cha Hak Yeon.” Tangan mulusnya yang agak kecokelatan terulur. Menunggu sambutan yang takkan sudi kulakukan. “Aku owner café ini.”
Mulutku sontak menganga lebar. Owner? Pendiri… Pemilik?!
“Tidak usah terkejut seperti itu. Won Shik-ie sudah sering bercerita tentangmu. Tentang pelanggan setia yang selalu memaksa untuk duduk di meja nomor lima, meskipun belum melakukan reservasi.” Hak Yeon menunjukkan lagi deretan gigi rapinya. Aku pun menunduk kecut. “Kalau boleh tahu, ada masalah apa? Hmm?”
Aku memalingkan wajah. Menghindari kerlingan mata teduh itu.
“Pacar?” Hak Yeon mengangkat dua alisnya tinggi-tinggi.
“Bukan urusanmu!”
Tawa Hak Yeon tergelak keras. Menantangku untuk menyiramkan sisa kopi hitam dari cangkir keempat, “Jelas ini urusanku. Kalau kau tiba-tiba pingsan karena overdosis kopi, café-ku bisa dijadikan headline di berbagai surat kabar. Lalu, akhirnya bangkrut karena aku dituduh menjual kopi daur ulang yang tidak layak minum…”
Sudut bibirku terangkat dibuatnya. Daur ulang? Memangnya kertas!
“Jadi, bagaimana? Aku belum siap dipenjara, uh!” desaknya lagi.
“Putus…” Bibirku mendesis dengan sendirinya, tanpa bisa dicegah. Omo[3]! Kurasa, kafein dosis tinggi mulai mengacaukan sinkronisasi otak dan mulutku!
“Kapan?” Suara Hak Yeon melunak. Manik teduhnya memandangiku lekat-lekat.
Aku menghela napas, “Tadi pagi.”
“Kenapa?”
Jantungku berdenyut semakin cepat. Rasanya sesak bila harus mengingatnya lagi. Hak Yeon masih terlihat antusias menunggu jawaban, tapi sepertinya sulit. Bibirku terkatup rapat, tanpa bisa memberontak. Semakin kucoba membukanya, getaran bahuku kian tak terkendali.
Kalau saja tangisku tumpah, mungkin aku takkan tersiksa seperti ini. Bodoh! Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah menangis. Bahkan, kini aku ragu bisa melakukannya lagi. Tapi… Ini terlalu sakit untuk ditahan. Dan, hanya kafein lah yang dapat meredamnya.
Kering. Netraku masih bergeming. Sungguh, aku lupa caranya meneteskan air mata―selain menaburkan merica pada kedua pupilku.
“Kim Ah Young?”
Tapak tangan Hak Yeon mendarat di bahu kananku. Kim Ah Young? Aku sudah tidak terkejut lagi. Wajar jika dia mengetahui namaku. Pasti, lagi-lagi Won Shik yang membocorkannya. Ugh, aku benar-benat menyesal telah membiarkan Won Shik mengantungi sebagian besar riwayat hidupku. Dasar laki-laki bermulut besar.
“Jika kau belum sanggup untuk bercerita, tidak apa. Aku mengerti. Tapi, jangan memaksakan diri untuk minum espresso lagi, ne[4]? Aku khawatir dengan keadaanmu,” lanjut Hak Yeon sambil menaruh buku pesanan dan menu di meja kami.
Jemari Hak Yeon kini berpindah, menggenggam kedua tanganku yang bertautan. Mencoba meredakan getar yang masih mengganggu. Hangat. Rasanya… Nyaman. Benar-benar menghipnotisku untuk mengeluarkan semuanya.
“Hong Bin memutuskan hubungan kami tadi pagi… Dia bilang, aku terlalu sibuk sampai tak pernah memiliki waktu untuknya…” Lirihanku berhasil melepaskan diri dari kekang. Pertahananku runtuh sejadi-jadinya. “Padahal, sedari awal Hong Bin sudah mengetahui kesibukanku. Dia bisa memaklumi diriku yang jarang keluar rumah, karena deadline dari penerbit yang terlalu singkat. Hong Bin bisa mengerti… Lantaran itu adalah wujud perjuanganku untuk menjadi komikus profesional…”
“Ah Young-ssi[5]…” Hak Yeon kembali mengelus bahuku, kemudian menarikku dalam rangkulannya. Membuatku menikmati aroma vanilla dari kemeja putihnya, yang tergulung sampai siku. Memanjakanku dengan dekap erat… Dalam ketenangan.
“Kenapa cuma di awal, uh? Kenapa Hong Bin tidak bisa menggunakan alasan yang sama untuk tetap bersamaku?” Aku terisak tanpa linang. Surut.
Usapan lembut itu beralih pada puncak kepalaku, lengkap dengan hembus napasnya yang berderu tepat di keningku, “Dia tidak pantas untukmu, Ah Young-ssi. Di luar sana, masih banyak namja[6] lain yang bisa menerimamu apa adanya. Jangan pikirkan dia lagi. Waktumu akan terbuang percuma untuk meratapi namja bodoh sepertinya.”
Jinjja[7]? Siapa namja lain yang kau maksud, Cha Hak Yeon? Dirimu?
Hak Yeon menepuk-nepuk bahuku, lantas kembali berujar, “Kalau besok kau ada waktu, datang saja ke sini lagi. Aku masih menunggu keseluruhan ceritanya.”
“Bolehkah?” ungkapku, berhati-hati.
Anggukan Hak Yeon terkesan bersemangat, “Tentu. Aku senang bisa mendapat kepercayaan untuk menampung ceritamu langsung seperti ini, ketimbang lewat Won Shik-ie… Kau tahu sendiri, saat bicara, dia agak berbelit-belit.”
Yah, kuakui aku juga tak menyesal berbagi beban padamu.
“Terima kasih untuk ceritamu, Kim Ah Young.” Rangkulannya merenggang dan Hak Yeon pun lantas menggeser posisi duduknya. Agak menjauh, namun iris hitamnya masih menyorotku dalam-dalam. Umm, agak mengecewakan…
“Harusnya aku yang berterima kasih padamu, Hak Yeon-ssi,” balasku.
“Ada kalanya seseorang yang terjatuh harus berangsur bangkit. Karena luka yang didapat saat jatuh itu harus segera diobati, supaya tidak berbekas,” jelas Hak Yeon tanpa diminta, sambil bersandar di kursinya. “Dan, dalam beberapa kasus, orang yang jatuh itu butuh tongkat penyangga untuk membantunya berdiri lagi…”
Jatuh? Bangkit? Keningku sampai mengerut dibuatnya.
“Bolehkah aku menjadi tongkat itu untukmu?”
Jauh di dalam rusuk, rasanya jantungku seolah akan melompat keluar. Sekujur wajahku memanas. Oh, mungkinkah juga merona merah? Memalukan! Pesonanya sukses membuatku tak bisa menguasai diri. Kenapa harus ada pangeran sebaik ini?
Hak Yeon tampaknya ikut tertular kegugupanku. Ia sontak menggaruk tengkuk, kemudian menyambar lagi buku pesanannya, “Umm, apa sekarang kau mau makan cheese cake? Blueberry atau aprikot? Khusus hari ini, akan kuberikan potongan harga!”
“Jinjjayo?” Sepasang mataku langsung berbinar sumringah. “Menurutmu, lebih enak yang mana? Aku ‘kan belum pernah mencobanya, jadi perlu rekomendasi.”
Tak terdengar jawaban. Kepalaku kontan menyembul dari balik buku menu, memastikan keadaan pemuda itu. Dia masih betah di kursinya.
“Hak Yeon-ssi?” panggilku sekali lagi. Hak Yeon belum juga menyahut.
Seketika, aku tersadar. Binar teduhnya tak lagi terarah padaku. Pupil legam itu beralih, terpaku lurus menatap sesosok gadis molek yang baru saja menutup pintu taksi, jauh di belakangku. Cantik, kalau saja riasan wajahnya tidak setebal saat ini.
Mungkinkah dia seorang model?
Hak Yeon memandangi jam silver dalam lingkaran tangannya. Kemudian, ia bergegas bangkit dan menanggalkan celemek merah marunnya, “Ah Young-ssi, maaf. Sepertinya… Aku harus segera pergi.”
“Pacarmu?” tanyaku pelan. Hak Yeon mengangguk dan memamerkan seringai malu.
“Sejak seminggu yang lalu. Tidak apa-apa jika kutinggal? Nanti, akan kusuruh Taek Woon untuk mengantarkan cheese cake pesananmu,” pamitnya sungkan.
Senyum tipisku mengizinkan Hak Yeon untuk menghampiri gadis itu. Dan, Hak Yeon tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dalam sekejap, mereka berhambur dalam pelukan. Membuat pipi mereka beradu dalam kehangatan.
Kedua tangan Hak Yeon menangkup wajah tirus pacarnya, lalu dekat… Dikecupnya puncak kepala sang gadis. Damn! Aku tidak bisa berhenti memerhatikan kelanjutannya. Pasangan itu benar-benar tidak peduli dengan keramaian sekitar. Mereka terlalu mesra!
Genggaman sejoli itu semakin rapat. Bayangan keduanya lantas menghilang di pelataran parkir. Tanpa perlu menyaksikan, aku pun tahu kelanjutannya.
“Taek Woon-ssi! Batalkan saja cheese cake-nya! Ganti dengan dua cangkir espresso lagi, uh! Apa? Tidak! Tidak usah pakai sirup! Biar saja aku mati karena pahit!”
.
.
.
fin.


[1] Nona
[2] Suffix non formal untuk nama berakhiran konsonan, sebagai tanda kedekatan
[3] Ya Tuhan
[4] Ya
[5] Suffix formal
[6] Laki-laki
[7] Benarkah, versi singkat dari Jinjjayo?

0 komentar:

Posting Komentar

[VIGNETTE] CAFFEINE

| |




C a f f e i n e
.
© 2015 by Nisa Jung
.
VIXX - N & GIRL'S DAY – Yura | Hurt/Comfort | 1028 words | T
.
“Kamu yang membuatku melupakan kafein, kamu juga yang memaksaku menenggaknya lebih banyak…”
.



“Agasshi[1], ini sudah gelas kelima, uh? Apa perutmu baik-baik saja?”
Kelopak mataku yang sayu kini membelalak. Menghujani pemuda bercelemek merah marun itu dengan tatapan gusar. Ugh, apa-apaan dia ini? Tampan, tapi suka ikut campur urusan orang. Menyebalkan.
“Jangan banyak bicara. Semua minuman ini ‘kan kubayar tunai, tidak berhutang!” bentakku kasar. Pemuda itu masih terpaku di hadapanku, tak mencatat apapun di buku pesanan yang dibawanya.
“Bagaimana jika kau pesan makanan saja? Cheese cake buatan kami adalah yang terlezat di Seoul!” Senyum lebarnya tercetak lagi. Huh, sok charming!
“Tidak mau! Sudah kubilang, aku ingin espresso!” Gebrakan meja nyaris membuat cangkir-cangkir di depanku jatuh berserak. Dia tersentak. Pandanganku pun menusuknya lagi. “Sekali lagi kau protes, akan kulaporkan pada manager café ini!”
Seolah tak acuh, pemuda itu malah menarik kursi dan duduk di sebelahku, “Sayangnya, Won Shik-ie[2] sedang cuti hari ini. Kau takkan bisa menemuinya.”
Apa? Apa yang dia katakan barusan? Won Shik-ie? Kurang ajar! Bisa-bisanya temanku itu merekrut orang yang tidak tahu sopan santun seperti ini untuk dijadikan waiter. Pokoknya, cepat atau lambat aku harus melapor, supaya waiter kurang ajar sepertinya bisa segera ditendang keluar dari café ini!
“Namaku Hak Yeon. Cha Hak Yeon.” Tangan mulusnya yang agak kecokelatan terulur. Menunggu sambutan yang takkan sudi kulakukan. “Aku owner café ini.”
Mulutku sontak menganga lebar. Owner? Pendiri… Pemilik?!
“Tidak usah terkejut seperti itu. Won Shik-ie sudah sering bercerita tentangmu. Tentang pelanggan setia yang selalu memaksa untuk duduk di meja nomor lima, meskipun belum melakukan reservasi.” Hak Yeon menunjukkan lagi deretan gigi rapinya. Aku pun menunduk kecut. “Kalau boleh tahu, ada masalah apa? Hmm?”
Aku memalingkan wajah. Menghindari kerlingan mata teduh itu.
“Pacar?” Hak Yeon mengangkat dua alisnya tinggi-tinggi.
“Bukan urusanmu!”
Tawa Hak Yeon tergelak keras. Menantangku untuk menyiramkan sisa kopi hitam dari cangkir keempat, “Jelas ini urusanku. Kalau kau tiba-tiba pingsan karena overdosis kopi, café-ku bisa dijadikan headline di berbagai surat kabar. Lalu, akhirnya bangkrut karena aku dituduh menjual kopi daur ulang yang tidak layak minum…”
Sudut bibirku terangkat dibuatnya. Daur ulang? Memangnya kertas!
“Jadi, bagaimana? Aku belum siap dipenjara, uh!” desaknya lagi.
“Putus…” Bibirku mendesis dengan sendirinya, tanpa bisa dicegah. Omo[3]! Kurasa, kafein dosis tinggi mulai mengacaukan sinkronisasi otak dan mulutku!
“Kapan?” Suara Hak Yeon melunak. Manik teduhnya memandangiku lekat-lekat.
Aku menghela napas, “Tadi pagi.”
“Kenapa?”
Jantungku berdenyut semakin cepat. Rasanya sesak bila harus mengingatnya lagi. Hak Yeon masih terlihat antusias menunggu jawaban, tapi sepertinya sulit. Bibirku terkatup rapat, tanpa bisa memberontak. Semakin kucoba membukanya, getaran bahuku kian tak terkendali.
Kalau saja tangisku tumpah, mungkin aku takkan tersiksa seperti ini. Bodoh! Sudah bertahun-tahun aku tidak pernah menangis. Bahkan, kini aku ragu bisa melakukannya lagi. Tapi… Ini terlalu sakit untuk ditahan. Dan, hanya kafein lah yang dapat meredamnya.
Kering. Netraku masih bergeming. Sungguh, aku lupa caranya meneteskan air mata―selain menaburkan merica pada kedua pupilku.
“Kim Ah Young?”
Tapak tangan Hak Yeon mendarat di bahu kananku. Kim Ah Young? Aku sudah tidak terkejut lagi. Wajar jika dia mengetahui namaku. Pasti, lagi-lagi Won Shik yang membocorkannya. Ugh, aku benar-benat menyesal telah membiarkan Won Shik mengantungi sebagian besar riwayat hidupku. Dasar laki-laki bermulut besar.
“Jika kau belum sanggup untuk bercerita, tidak apa. Aku mengerti. Tapi, jangan memaksakan diri untuk minum espresso lagi, ne[4]? Aku khawatir dengan keadaanmu,” lanjut Hak Yeon sambil menaruh buku pesanan dan menu di meja kami.
Jemari Hak Yeon kini berpindah, menggenggam kedua tanganku yang bertautan. Mencoba meredakan getar yang masih mengganggu. Hangat. Rasanya… Nyaman. Benar-benar menghipnotisku untuk mengeluarkan semuanya.
“Hong Bin memutuskan hubungan kami tadi pagi… Dia bilang, aku terlalu sibuk sampai tak pernah memiliki waktu untuknya…” Lirihanku berhasil melepaskan diri dari kekang. Pertahananku runtuh sejadi-jadinya. “Padahal, sedari awal Hong Bin sudah mengetahui kesibukanku. Dia bisa memaklumi diriku yang jarang keluar rumah, karena deadline dari penerbit yang terlalu singkat. Hong Bin bisa mengerti… Lantaran itu adalah wujud perjuanganku untuk menjadi komikus profesional…”
“Ah Young-ssi[5]…” Hak Yeon kembali mengelus bahuku, kemudian menarikku dalam rangkulannya. Membuatku menikmati aroma vanilla dari kemeja putihnya, yang tergulung sampai siku. Memanjakanku dengan dekap erat… Dalam ketenangan.
“Kenapa cuma di awal, uh? Kenapa Hong Bin tidak bisa menggunakan alasan yang sama untuk tetap bersamaku?” Aku terisak tanpa linang. Surut.
Usapan lembut itu beralih pada puncak kepalaku, lengkap dengan hembus napasnya yang berderu tepat di keningku, “Dia tidak pantas untukmu, Ah Young-ssi. Di luar sana, masih banyak namja[6] lain yang bisa menerimamu apa adanya. Jangan pikirkan dia lagi. Waktumu akan terbuang percuma untuk meratapi namja bodoh sepertinya.”
Jinjja[7]? Siapa namja lain yang kau maksud, Cha Hak Yeon? Dirimu?
Hak Yeon menepuk-nepuk bahuku, lantas kembali berujar, “Kalau besok kau ada waktu, datang saja ke sini lagi. Aku masih menunggu keseluruhan ceritanya.”
“Bolehkah?” ungkapku, berhati-hati.
Anggukan Hak Yeon terkesan bersemangat, “Tentu. Aku senang bisa mendapat kepercayaan untuk menampung ceritamu langsung seperti ini, ketimbang lewat Won Shik-ie… Kau tahu sendiri, saat bicara, dia agak berbelit-belit.”
Yah, kuakui aku juga tak menyesal berbagi beban padamu.
“Terima kasih untuk ceritamu, Kim Ah Young.” Rangkulannya merenggang dan Hak Yeon pun lantas menggeser posisi duduknya. Agak menjauh, namun iris hitamnya masih menyorotku dalam-dalam. Umm, agak mengecewakan…
“Harusnya aku yang berterima kasih padamu, Hak Yeon-ssi,” balasku.
“Ada kalanya seseorang yang terjatuh harus berangsur bangkit. Karena luka yang didapat saat jatuh itu harus segera diobati, supaya tidak berbekas,” jelas Hak Yeon tanpa diminta, sambil bersandar di kursinya. “Dan, dalam beberapa kasus, orang yang jatuh itu butuh tongkat penyangga untuk membantunya berdiri lagi…”
Jatuh? Bangkit? Keningku sampai mengerut dibuatnya.
“Bolehkah aku menjadi tongkat itu untukmu?”
Jauh di dalam rusuk, rasanya jantungku seolah akan melompat keluar. Sekujur wajahku memanas. Oh, mungkinkah juga merona merah? Memalukan! Pesonanya sukses membuatku tak bisa menguasai diri. Kenapa harus ada pangeran sebaik ini?
Hak Yeon tampaknya ikut tertular kegugupanku. Ia sontak menggaruk tengkuk, kemudian menyambar lagi buku pesanannya, “Umm, apa sekarang kau mau makan cheese cake? Blueberry atau aprikot? Khusus hari ini, akan kuberikan potongan harga!”
“Jinjjayo?” Sepasang mataku langsung berbinar sumringah. “Menurutmu, lebih enak yang mana? Aku ‘kan belum pernah mencobanya, jadi perlu rekomendasi.”
Tak terdengar jawaban. Kepalaku kontan menyembul dari balik buku menu, memastikan keadaan pemuda itu. Dia masih betah di kursinya.
“Hak Yeon-ssi?” panggilku sekali lagi. Hak Yeon belum juga menyahut.
Seketika, aku tersadar. Binar teduhnya tak lagi terarah padaku. Pupil legam itu beralih, terpaku lurus menatap sesosok gadis molek yang baru saja menutup pintu taksi, jauh di belakangku. Cantik, kalau saja riasan wajahnya tidak setebal saat ini.
Mungkinkah dia seorang model?
Hak Yeon memandangi jam silver dalam lingkaran tangannya. Kemudian, ia bergegas bangkit dan menanggalkan celemek merah marunnya, “Ah Young-ssi, maaf. Sepertinya… Aku harus segera pergi.”
“Pacarmu?” tanyaku pelan. Hak Yeon mengangguk dan memamerkan seringai malu.
“Sejak seminggu yang lalu. Tidak apa-apa jika kutinggal? Nanti, akan kusuruh Taek Woon untuk mengantarkan cheese cake pesananmu,” pamitnya sungkan.
Senyum tipisku mengizinkan Hak Yeon untuk menghampiri gadis itu. Dan, Hak Yeon tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dalam sekejap, mereka berhambur dalam pelukan. Membuat pipi mereka beradu dalam kehangatan.
Kedua tangan Hak Yeon menangkup wajah tirus pacarnya, lalu dekat… Dikecupnya puncak kepala sang gadis. Damn! Aku tidak bisa berhenti memerhatikan kelanjutannya. Pasangan itu benar-benar tidak peduli dengan keramaian sekitar. Mereka terlalu mesra!
Genggaman sejoli itu semakin rapat. Bayangan keduanya lantas menghilang di pelataran parkir. Tanpa perlu menyaksikan, aku pun tahu kelanjutannya.
“Taek Woon-ssi! Batalkan saja cheese cake-nya! Ganti dengan dua cangkir espresso lagi, uh! Apa? Tidak! Tidak usah pakai sirup! Biar saja aku mati karena pahit!”
.
.
.
fin.


[1] Nona
[2] Suffix non formal untuk nama berakhiran konsonan, sebagai tanda kedekatan
[3] Ya Tuhan
[4] Ya
[5] Suffix formal
[6] Laki-laki
[7] Benarkah, versi singkat dari Jinjjayo?

0 komentar:

Posting Komentar