Reason! ― Ravi Version
© 2015 by Nisa Jung
(VIXX – Ravi & OC)
Hanya ada satu
alasan kenapa Won Shik terus-menerus mengecek ponsel.
Bosan menunggu,
pemuda bermarga Kim itu menghempaskan bokong di sofa. Dijuhutnya segelas Americano yang terhidang di nakas sedari
tadi. Pahit. Dingin. Sama sekali tidak mengurangi kecemasannya.
Dalam sekali
teguk, cairan hitam pekat itu tandas tak bersisa. Bukan lantaran Won Shik suka,
namun hanya karena ia tidak ingin lantai marmernya ternoda bekas kopi yang
kekuningan.
Prak!
Hantaman gelas
dengan lantai tidak menimbulkan kebisingan yang berarti, tetapi berhasil
membuat wadah kaca itu terbelah menjadi beberapa bagian. Membentuk pecahan;
yang berarti tak bisa lagi digunakan.
Won Shik memunguti
kepingan kaca itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke tempat sampah. Selalu
begitu. Sekadar informasi, saking seringnya Won Shik memusnahkan peralatan
makan bekas pakainya, sang ibu membelikan berpak-pak piring dan cangkir kertas.
Namun, Won Shik hampir tak pernah memakainya. Aroma khas produk daur ulang yang
bercampur dengan minuman panas itu terasa menyebalkan, uh?
Dengan
konsentrasi jauh dari titik penuh, masih ada serpihan kaca yang tertinggal―dan
sontak menancap di kaki Won Shik. Setitik warna merah timbul serempak dengan
dicabutnya benda mungil nan runcing itu. Won Shik mendesah, kemudian mengambil
tisu dan korek gas, yang selalu tersedia di saku celananya selama
berminggu-mingg u belakangan. Perlahan disekanya tetesan merah di telapak
kaki itu dengan tisu, lalu secepat kilat Won Shik menyalakan api. Membakar
habis tisu dalam apitan ibu jari dan telunjuknya. Oh, sampai kapan...
Sampai kapan
Won Shik harus hidup seperti ini?
Getaran berikut
nada dering dari ponsel menarik kembali kesadaran Won Shik. Dalam satu
sentuhan, panggilan dari seseorang nun jauh di sana berhasil tersambung.
Song Yoo Jin.
"WON SHIK-AH[1]!"
Jeritan bervolume gila-gilaan menggema dari speaker,
mengabaikan sapaan halo sebagai permulaan. "KATAKAN SEJUJURNYA, APA
INI SEMUA ADALAH RENCANAMU?!"
Won Shik
mengernyit, "Apa?"
"TAEK WOON
BARU SAJA MELAMARKU, BODOH!" Song Yoo Jin kembali mencoba merusak gendang
telinga milik pemuda Kim itu.
Helaan napas
Won Shik terdengar berat, "Lalu?"
"LALU?!"
Yoo Jin melakukan repetisi dengan nada ketus. "TUNANGANMU DILAMAR LELAKI
LAIN DAN KAU HANYA BERKATA 'LALU'? DI MANA OTAKMU, KIM WON SHIK?"
Hening. Won
Shik perlu merangkai kata puitis untuk bisa menenangkan Yoo Jin. Selama ini,
gadis duapuluh dua tahun itu selalu lemah pada kemahiran silat lidahnya.
"Dengar,
tunanganku yang idiot..." Suara Yoo Jin berubah parau dan lirih. Pita
suaranya benar-benar letih saat ini. "Aku sudah melakukan apa yang
kauinginkan. Aku mencari tahu banyak hal tentang Jung Taek Woon lebih daripada
informasi yang kauberikan padaku. Aku mendekatinya sebagai teman biasa, namun
dia menganggapku lebih... Melihat kedekatan kami, apa kau tidak merasakan apa
pun?"
Senyap. Tak ada
jawaban dari pihak Won Shik.
"Sakit
'kan?" Terselip senggukan pada terkaan Yoo Jin. "Aku juga merasakan
itu tiap kali bersama Taek Woon. Asal kau tahu saja, bersama orang yang salah
itu benar-benar menyakitkan, Won Shik-ah..."
Won Shik
tergugu, namun masih saja mencoba santai, "Jawaban... Jawaban apa yang
kauberikan pada Taek Woon?"
"Tentu
saja kutolak."
Diiringi
decakan, Won Shik bersungut, "Bodoh. Kau baru saja melewatkan kesempatan
berharga, Song Yoo Jin."
"Kau yang
bodoh, Kim Won Shik!" Terbayang aliran sungai membasahi pipi Yoo Jin.
"Bagaimana aku bisa menerima lamaran Taek Woon sementara aku hanya
memikirkanmu?"
Sekarang, bukan
hanya tergagap. Lidah Won Shik seolah lumpuh total, "Aku..."
"Kubilang
padanya, aku hanya menyukainya sebagai teman, tidak bisa lebih seperti yang
kaumau."
Telapak tangan
Won Shik kini gemetar. Nyaris saja ponselnya terjatuh, kalau saja Won Shik
tidak berusaha menggenggamnya erat-erat.
"Kau...
Apakah aku serendah itu di matamu?" Yoo Jin meringis. Sendu. Pilu. Terasa
lebih getir dari Americano kental
sekalipun. "Kadang, kupikir aku tak lebih berharga dari koleksi tattoo di badanmu. Segila-gilanya
dirimu, kau takkan pernah memberikan tattoo
itu pada orang lain 'kan?"
Won Shik tidak
kuat lagi. Usai menyetel mode loudspeaker,
cepat-cepat dibaringkannya layar datar itu di bantalan sofa.
"Kenapa
kau tidak pernah menganggapku sebagai bagian dari tattoo-mu?" Isakan gadis
bermarga Song itu terdengar lugas. "Aku akan menjadi tattoo paling istimewa di dunia, karena kau tak perlu merasakan
sakit untuk mendapatkanku, Tuan Kim."
Tidak... Jangan
teruskan...
"Waktu
itu... Aku begitu senang mendengar kabar perjodohan kita." Song Yoo Jin
menyeka cairan yang menggenang di pelupuk matanya. "Jika kau menyerahkanku
pada Taek Woon, bukan hanya aku yang kecewa. Keluarga besar kita... Pernahkah
kau memikirkan perasaan mereka?"
Bahu Won Shik
berguncang hebat. Tentu. Apa yang Yoo Jin katakan adalah benar. Tapi,
bukankah... Bukankah Won Shik melakukan ini semua untuk kebaikan kedua belah
pihak?
"Mungkin
memang tidak seharusnya aku berharap." Nada tegas khas Song Yoo Jin yang
Won Shik rindukan kini mengalun. "Aku sudah mati-matian menahan rasa sakit
jarum pewarna yang panas, tapi tattoo
yang kuinginkan tak pernah muncul di kulitku."
Pertahanan Won
Shik runtuh sudah. Sampai panggilan itu terputus pun, Won Shik masih saja
kerepotan menghalau air mata lewat telapak tangannya. Terlebih, ketika
ponselnya kembali bergetar dan menampilkan sebuah pesan singkat.
Tattoo itu kau,
Kim Won Shik.
Kalau saja
hidup sesederhana pemutar DVD, Won Shik ingin sekali menekan tombol rewind
untuk mengembalikan semuanya ke awal. Masa-masa ia dan Song Yoo Jin sebatas
sahabat, tanpa mengenal kata cinta. Atau, jika itu terlalu lampau, maka Won
Shik ingin waktu berputar pada masa sekolah tingkat atasnya. Di mana Won Shik
belum menggilai seni menggambar tubuh seperti sekarang. Yang tanpa sadar telah
menghancurkan hidupnya.
Perjodohan
mereka pun... Sesungguhnya, begitu mendapatkan kabar bahagia itu dari sang ibu,
Won Shik jauh lebih berbunga-bunga daripada Yoo Jin.
Tak bisakah Yoo
Jin mengerti Won Shik sebagaimana gadis itu memahami Jung Taek Woon? Semua ini
Won Shik lakukan bukan karena suka ataupun mau, namun lantaran tak ingin
membuat hati Song Yoo Jin ternoda oleh duka... Ketika virus HIV dalam tubuh Won
Shik berhasil mempertemukan pemuda Kim itu dengan ajal, lebih awal dari
analisis dokter yang diterimanya.
Paling tidak,
setelah perjodohan mereka batal, Song Yoo Jin tidak lagi menggantungkan harapan
pada orang yang tak punya masa depan seperti Won Shik, uh?
.
.
.
fin.
0 komentar:
Posting Komentar