Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Senin, 17 Agustus 2015

[SERIES] REASON! ― RAVI VERSION



Reason! ― Ravi Version
© 2015 by Nisa Jung
(VIXX – Ravi & OC)



Hanya ada satu alasan kenapa Won Shik terus-menerus mengecek ponsel.
Bosan menunggu, pemuda bermarga Kim itu menghempaskan bokong di sofa. Dijuhutnya segelas Americano yang terhidang di nakas sedari tadi. Pahit. Dingin. Sama sekali tidak mengurangi kecemasannya.
Dalam sekali teguk, cairan hitam pekat itu tandas tak bersisa. Bukan lantaran Won Shik suka, namun hanya karena ia tidak ingin lantai marmernya ternoda bekas kopi yang kekuningan.
Prak!
Hantaman gelas dengan lantai tidak menimbulkan kebisingan yang berarti, tetapi berhasil membuat wadah kaca itu terbelah menjadi beberapa bagian. Membentuk pecahan; yang berarti tak bisa lagi digunakan.
Won Shik memunguti kepingan kaca itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke tempat sampah. Selalu begitu. Sekadar informasi, saking seringnya Won Shik memusnahkan peralatan makan bekas pakainya, sang ibu membelikan berpak-pak piring dan cangkir kertas. Namun, Won Shik hampir tak pernah memakainya. Aroma khas produk daur ulang yang bercampur dengan minuman panas itu terasa menyebalkan, uh?
Dengan konsentrasi jauh dari titik penuh, masih ada serpihan kaca yang tertinggal―dan sontak menancap di kaki Won Shik. Setitik warna merah timbul serempak dengan dicabutnya benda mungil nan runcing itu. Won Shik mendesah, kemudian mengambil tisu dan korek gas, yang selalu tersedia di saku celananya selama berminggu-minggu belakangan. Perlahan disekanya tetesan merah di telapak kaki itu dengan tisu, lalu secepat kilat Won Shik menyalakan api. Membakar habis tisu dalam apitan ibu jari dan telunjuknya. Oh, sampai kapan...
Sampai kapan Won Shik harus hidup seperti ini?
Getaran berikut nada dering dari ponsel menarik kembali kesadaran Won Shik. Dalam satu sentuhan, panggilan dari seseorang nun jauh di sana berhasil tersambung.
Song Yoo Jin.
"WON SHIK-AH[1]!" Jeritan bervolume gila-gilaan menggema dari speaker, mengabaikan sapaan halo sebagai permulaan. "KATAKAN SEJUJURNYA, APA INI SEMUA ADALAH RENCANAMU?!"
Won Shik mengernyit, "Apa?"
"TAEK WOON BARU SAJA MELAMARKU, BODOH!" Song Yoo Jin kembali mencoba merusak gendang telinga milik pemuda Kim itu.
Helaan napas Won Shik terdengar berat, "Lalu?"
"LALU?!" Yoo Jin melakukan repetisi dengan nada ketus. "TUNANGANMU DILAMAR LELAKI LAIN DAN KAU HANYA BERKATA 'LALU'? DI MANA OTAKMU, KIM WON SHIK?"
Hening. Won Shik perlu merangkai kata puitis untuk bisa menenangkan Yoo Jin. Selama ini, gadis duapuluh dua tahun itu selalu lemah pada kemahiran silat lidahnya.
"Dengar, tunanganku yang idiot..." Suara Yoo Jin berubah parau dan lirih. Pita suaranya benar-benar letih saat ini. "Aku sudah melakukan apa yang kauinginkan. Aku mencari tahu banyak hal tentang Jung Taek Woon lebih daripada informasi yang kauberikan padaku. Aku mendekatinya sebagai teman biasa, namun dia menganggapku lebih... Melihat kedekatan kami, apa kau tidak merasakan apa pun?"
Senyap. Tak ada jawaban dari pihak Won Shik.
"Sakit 'kan?" Terselip senggukan pada terkaan Yoo Jin. "Aku juga merasakan itu tiap kali bersama Taek Woon. Asal kau tahu saja, bersama orang yang salah itu benar-benar menyakitkan, Won Shik-ah..."
Won Shik tergugu, namun masih saja mencoba santai, "Jawaban... Jawaban apa yang kauberikan pada Taek Woon?"
"Tentu saja kutolak."
Diiringi decakan, Won Shik bersungut, "Bodoh. Kau baru saja melewatkan kesempatan berharga, Song Yoo Jin."
"Kau yang bodoh, Kim Won Shik!" Terbayang aliran sungai membasahi pipi Yoo Jin. "Bagaimana aku bisa menerima lamaran Taek Woon sementara aku hanya memikirkanmu?"
Sekarang, bukan hanya tergagap. Lidah Won Shik seolah lumpuh total, "Aku..."
"Kubilang padanya, aku hanya menyukainya sebagai teman, tidak bisa lebih seperti yang kaumau."
Telapak tangan Won Shik kini gemetar. Nyaris saja ponselnya terjatuh, kalau saja Won Shik tidak berusaha menggenggamnya erat-erat.
"Kau... Apakah aku serendah itu di matamu?" Yoo Jin meringis. Sendu. Pilu. Terasa lebih getir dari Americano kental sekalipun. "Kadang, kupikir aku tak lebih berharga dari koleksi tattoo di badanmu. Segila-gilanya dirimu, kau takkan pernah memberikan tattoo itu pada orang lain 'kan?"
Won Shik tidak kuat lagi. Usai menyetel mode loudspeaker, cepat-cepat dibaringkannya layar datar itu di bantalan sofa.
"Kenapa kau tidak pernah menganggapku sebagai bagian dari tattoo-mu?" Isakan gadis bermarga Song itu terdengar lugas. "Aku akan menjadi tattoo paling istimewa di dunia, karena kau tak perlu merasakan sakit untuk mendapatkanku, Tuan Kim."
Tidak... Jangan teruskan...
"Waktu itu... Aku begitu senang mendengar kabar perjodohan kita." Song Yoo Jin menyeka cairan yang menggenang di pelupuk matanya. "Jika kau menyerahkanku pada Taek Woon, bukan hanya aku yang kecewa. Keluarga besar kita... Pernahkah kau memikirkan perasaan mereka?"
Bahu Won Shik berguncang hebat. Tentu. Apa yang Yoo Jin katakan adalah benar. Tapi, bukankah... Bukankah Won Shik melakukan ini semua untuk kebaikan kedua belah pihak?
"Mungkin memang tidak seharusnya aku berharap." Nada tegas khas Song Yoo Jin yang Won Shik rindukan kini mengalun. "Aku sudah mati-matian menahan rasa sakit jarum pewarna yang panas, tapi tattoo yang kuinginkan tak pernah muncul di kulitku."
Pertahanan Won Shik runtuh sudah. Sampai panggilan itu terputus pun, Won Shik masih saja kerepotan menghalau air mata lewat telapak tangannya. Terlebih, ketika ponselnya kembali bergetar dan menampilkan sebuah pesan singkat.
Tattoo itu kau, Kim Won Shik.
Kalau saja hidup sesederhana pemutar DVD, Won Shik ingin sekali menekan tombol rewind untuk mengembalikan semuanya ke awal. Masa-masa ia dan Song Yoo Jin sebatas sahabat, tanpa mengenal kata cinta. Atau, jika itu terlalu lampau, maka Won Shik ingin waktu berputar pada masa sekolah tingkat atasnya. Di mana Won Shik belum menggilai seni menggambar tubuh seperti sekarang. Yang tanpa sadar telah menghancurkan hidupnya.
Perjodohan mereka pun... Sesungguhnya, begitu mendapatkan kabar bahagia itu dari sang ibu, Won Shik jauh lebih berbunga-bunga daripada Yoo Jin.
Tak bisakah Yoo Jin mengerti Won Shik sebagaimana gadis itu memahami Jung Taek Woon? Semua ini Won Shik lakukan bukan karena suka ataupun mau, namun lantaran tak ingin membuat hati Song Yoo Jin ternoda oleh duka... Ketika virus HIV dalam tubuh Won Shik berhasil mempertemukan pemuda Kim itu dengan ajal, lebih awal dari analisis dokter yang diterimanya.
Paling tidak, setelah perjodohan mereka batal, Song Yoo Jin tidak lagi menggantungkan harapan pada orang yang tak punya masa depan seperti Won Shik, uh?
.
.
.
fin.


[1] Suffix non formal untuk nama berakhiran konsonan

0 komentar:

Posting Komentar

[SERIES] REASON! ― RAVI VERSION

| |



Reason! ― Ravi Version
© 2015 by Nisa Jung
(VIXX – Ravi & OC)



Hanya ada satu alasan kenapa Won Shik terus-menerus mengecek ponsel.
Bosan menunggu, pemuda bermarga Kim itu menghempaskan bokong di sofa. Dijuhutnya segelas Americano yang terhidang di nakas sedari tadi. Pahit. Dingin. Sama sekali tidak mengurangi kecemasannya.
Dalam sekali teguk, cairan hitam pekat itu tandas tak bersisa. Bukan lantaran Won Shik suka, namun hanya karena ia tidak ingin lantai marmernya ternoda bekas kopi yang kekuningan.
Prak!
Hantaman gelas dengan lantai tidak menimbulkan kebisingan yang berarti, tetapi berhasil membuat wadah kaca itu terbelah menjadi beberapa bagian. Membentuk pecahan; yang berarti tak bisa lagi digunakan.
Won Shik memunguti kepingan kaca itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke tempat sampah. Selalu begitu. Sekadar informasi, saking seringnya Won Shik memusnahkan peralatan makan bekas pakainya, sang ibu membelikan berpak-pak piring dan cangkir kertas. Namun, Won Shik hampir tak pernah memakainya. Aroma khas produk daur ulang yang bercampur dengan minuman panas itu terasa menyebalkan, uh?
Dengan konsentrasi jauh dari titik penuh, masih ada serpihan kaca yang tertinggal―dan sontak menancap di kaki Won Shik. Setitik warna merah timbul serempak dengan dicabutnya benda mungil nan runcing itu. Won Shik mendesah, kemudian mengambil tisu dan korek gas, yang selalu tersedia di saku celananya selama berminggu-minggu belakangan. Perlahan disekanya tetesan merah di telapak kaki itu dengan tisu, lalu secepat kilat Won Shik menyalakan api. Membakar habis tisu dalam apitan ibu jari dan telunjuknya. Oh, sampai kapan...
Sampai kapan Won Shik harus hidup seperti ini?
Getaran berikut nada dering dari ponsel menarik kembali kesadaran Won Shik. Dalam satu sentuhan, panggilan dari seseorang nun jauh di sana berhasil tersambung.
Song Yoo Jin.
"WON SHIK-AH[1]!" Jeritan bervolume gila-gilaan menggema dari speaker, mengabaikan sapaan halo sebagai permulaan. "KATAKAN SEJUJURNYA, APA INI SEMUA ADALAH RENCANAMU?!"
Won Shik mengernyit, "Apa?"
"TAEK WOON BARU SAJA MELAMARKU, BODOH!" Song Yoo Jin kembali mencoba merusak gendang telinga milik pemuda Kim itu.
Helaan napas Won Shik terdengar berat, "Lalu?"
"LALU?!" Yoo Jin melakukan repetisi dengan nada ketus. "TUNANGANMU DILAMAR LELAKI LAIN DAN KAU HANYA BERKATA 'LALU'? DI MANA OTAKMU, KIM WON SHIK?"
Hening. Won Shik perlu merangkai kata puitis untuk bisa menenangkan Yoo Jin. Selama ini, gadis duapuluh dua tahun itu selalu lemah pada kemahiran silat lidahnya.
"Dengar, tunanganku yang idiot..." Suara Yoo Jin berubah parau dan lirih. Pita suaranya benar-benar letih saat ini. "Aku sudah melakukan apa yang kauinginkan. Aku mencari tahu banyak hal tentang Jung Taek Woon lebih daripada informasi yang kauberikan padaku. Aku mendekatinya sebagai teman biasa, namun dia menganggapku lebih... Melihat kedekatan kami, apa kau tidak merasakan apa pun?"
Senyap. Tak ada jawaban dari pihak Won Shik.
"Sakit 'kan?" Terselip senggukan pada terkaan Yoo Jin. "Aku juga merasakan itu tiap kali bersama Taek Woon. Asal kau tahu saja, bersama orang yang salah itu benar-benar menyakitkan, Won Shik-ah..."
Won Shik tergugu, namun masih saja mencoba santai, "Jawaban... Jawaban apa yang kauberikan pada Taek Woon?"
"Tentu saja kutolak."
Diiringi decakan, Won Shik bersungut, "Bodoh. Kau baru saja melewatkan kesempatan berharga, Song Yoo Jin."
"Kau yang bodoh, Kim Won Shik!" Terbayang aliran sungai membasahi pipi Yoo Jin. "Bagaimana aku bisa menerima lamaran Taek Woon sementara aku hanya memikirkanmu?"
Sekarang, bukan hanya tergagap. Lidah Won Shik seolah lumpuh total, "Aku..."
"Kubilang padanya, aku hanya menyukainya sebagai teman, tidak bisa lebih seperti yang kaumau."
Telapak tangan Won Shik kini gemetar. Nyaris saja ponselnya terjatuh, kalau saja Won Shik tidak berusaha menggenggamnya erat-erat.
"Kau... Apakah aku serendah itu di matamu?" Yoo Jin meringis. Sendu. Pilu. Terasa lebih getir dari Americano kental sekalipun. "Kadang, kupikir aku tak lebih berharga dari koleksi tattoo di badanmu. Segila-gilanya dirimu, kau takkan pernah memberikan tattoo itu pada orang lain 'kan?"
Won Shik tidak kuat lagi. Usai menyetel mode loudspeaker, cepat-cepat dibaringkannya layar datar itu di bantalan sofa.
"Kenapa kau tidak pernah menganggapku sebagai bagian dari tattoo-mu?" Isakan gadis bermarga Song itu terdengar lugas. "Aku akan menjadi tattoo paling istimewa di dunia, karena kau tak perlu merasakan sakit untuk mendapatkanku, Tuan Kim."
Tidak... Jangan teruskan...
"Waktu itu... Aku begitu senang mendengar kabar perjodohan kita." Song Yoo Jin menyeka cairan yang menggenang di pelupuk matanya. "Jika kau menyerahkanku pada Taek Woon, bukan hanya aku yang kecewa. Keluarga besar kita... Pernahkah kau memikirkan perasaan mereka?"
Bahu Won Shik berguncang hebat. Tentu. Apa yang Yoo Jin katakan adalah benar. Tapi, bukankah... Bukankah Won Shik melakukan ini semua untuk kebaikan kedua belah pihak?
"Mungkin memang tidak seharusnya aku berharap." Nada tegas khas Song Yoo Jin yang Won Shik rindukan kini mengalun. "Aku sudah mati-matian menahan rasa sakit jarum pewarna yang panas, tapi tattoo yang kuinginkan tak pernah muncul di kulitku."
Pertahanan Won Shik runtuh sudah. Sampai panggilan itu terputus pun, Won Shik masih saja kerepotan menghalau air mata lewat telapak tangannya. Terlebih, ketika ponselnya kembali bergetar dan menampilkan sebuah pesan singkat.
Tattoo itu kau, Kim Won Shik.
Kalau saja hidup sesederhana pemutar DVD, Won Shik ingin sekali menekan tombol rewind untuk mengembalikan semuanya ke awal. Masa-masa ia dan Song Yoo Jin sebatas sahabat, tanpa mengenal kata cinta. Atau, jika itu terlalu lampau, maka Won Shik ingin waktu berputar pada masa sekolah tingkat atasnya. Di mana Won Shik belum menggilai seni menggambar tubuh seperti sekarang. Yang tanpa sadar telah menghancurkan hidupnya.
Perjodohan mereka pun... Sesungguhnya, begitu mendapatkan kabar bahagia itu dari sang ibu, Won Shik jauh lebih berbunga-bunga daripada Yoo Jin.
Tak bisakah Yoo Jin mengerti Won Shik sebagaimana gadis itu memahami Jung Taek Woon? Semua ini Won Shik lakukan bukan karena suka ataupun mau, namun lantaran tak ingin membuat hati Song Yoo Jin ternoda oleh duka... Ketika virus HIV dalam tubuh Won Shik berhasil mempertemukan pemuda Kim itu dengan ajal, lebih awal dari analisis dokter yang diterimanya.
Paling tidak, setelah perjodohan mereka batal, Song Yoo Jin tidak lagi menggantungkan harapan pada orang yang tak punya masa depan seperti Won Shik, uh?
.
.
.
fin.


[1] Suffix non formal untuk nama berakhiran konsonan

0 komentar:

Posting Komentar